Oleh : Ahmad Ricky Baidhawi
Jur/Fak : S1-Ilmu Perpustakaan / Adab
Universitas UIN Ar-Raniry
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Abad keemasan peradaban muslim dimulai dengan
bangkitnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M. Masa lima abad
kekhalifahan Abbasiyah merupakan masa perkembangannya Islam. Pada Dinasti ini
kurang berminat penaklukan sebagaimana pada Dinasti Ummayah, tetapi pada
Dinasti Abbasiyah ini lebih berminat besar pada pengetahuan dan masalah dalam
negeri. Hal tersebut terlihat pada upaya
besar penerjemahan dan menyerap ilmu pengetahuan dari peradaban lain. Dalam waktu
tiga fase pada masa dinasti Abbasiyah
buku-buku dalam bahasa Yunani, Syiria, Sanskerta, Cina dan Persia diterjemahkan
kedalam bahasa Arab. Fase pertama (132 H/750 M – 132 H/847 M), pada khalifah
al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya
dalam bidang astronomi. Fase kedua (232 H/847 M – 334 H/ 945 M), pada masa
khalifah al-Makmun buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang
filsafat dan kedokteran. Fase ketiga (334 H/ 945 M – 347 H/ 1005 M), terutama
setelah bidang-bidang ilmu yang telah diterjemahkan semakin meluas, dimulailah
untuk menyaring, menganalisis dan menerima ataupun menolak pengetahuan dari
peradaban lain. Seiring dengan perkembangan berbagai ilmu pengetahuan dan
munculnya karya-karya para ilmuan dan berkembangnya produksi kertas yang
sersebar luas, hal ini memberikan dorongan besar pada gerakan pengumpulan
naskah-naskah. Keadaan ini berlangsung ketika peradaban muslim dilanda
perdebatan, dan buku-uku yang bersangkutan menjadi kunci utama untuk menyampaikan
gagasan. Kebutuhan akan buku menyebabkan merebaknya perpustakaan diberbagai
penjuru dunia Islam.[1]
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ilmu Pengetahuan di Dunia Islam
Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Dinasti abbasiyah terutama pada
fase pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur, Khalifah Harun
al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun, merupakan khalifah-khalifah yang sangat cinta
pada ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaannya khalifah-khalifah sangat
menjaga dan memelihara buku-buku baik yang bernuansa agama maupun umum, baik
karya ilmuan muslim maupun non muslim, baik karya-karya ilmuan yang semasanya
maupun pendahulunya. Hal ini terlihat jelas dari sikap-sikap khalifah seperti
pesannya Harun al-Rasyid kepada para tentaranya untuk tidah merusak kitab apapun
yang ditemukan dalam medan perang. Begitu juga khalifah al-Makmun yang menggaji
penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan lainnya untuk menerjemahkan
buku-buku Yunani, sampai pada akhirnya masih dilalukan pada masa khalifah
al-Makmun Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[2]
B. Sejarah
Berdirinya Perpustakaan Islam Pertama di Baghdad (Baitul Hikmah)
Baitul Hikmah di Baghdad didirikan tahun 832 M
pada masa Harun al-Rasyid menjadi khalifah, kemudian diteruskan dan diperbesar
oleh khalifah al-Makmun. Pada perpustakaan ini bukan hanya berisi ilmu-ilmu dan
buku-buku agama Islam dan Bahasa Arab saja, bahkan juga bermacam-macam
ilmu-ilmu dan buku-buku umum lainnya dan juga dalam bahasa lainnya yang
diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Baitul
Hikmah merupakan perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pengembangan
ilmu pengetahuan. Pada masa Abbasiyah institusi ini diperluas penggunaannya.
Baitul Hikmah, sudah dirintis oleh khalifah Harun al-Rasyid, menjadi pusat
segala kegiatan keilmuan. Pada masa Harun al-Rasyid institusi ini bernama
khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai sebagai
perpustakaan dan pusat penelitian. Di lembaga ini baik muslim maupun non muslim
bekerja mengalih bahasakan sebagai naskah kuno dan menyusun berbagai
penjelasan.[3] Tujuan utama
didirikannya Baitul Hikmah adalah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu
pengetahuan asing ke dalam bahasa Arab. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang
dicapai Islam, yaitu menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Pada waktu itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban
yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah sebagai pusat kajian ilmu
pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Lembaga pendidikan ini
didirikan berkat adanya usaha dan bantuan dari orang-orang yang memegang
kepemimpinan dalam pemerintahan.
Sejak
815 M al-Makmun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Baitul Hikmah.
Pada masa Makmun inilah ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai puncaknya.
Pada masa ini Baitul Hikmah digunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat
penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, bahkan Etiopia
dan India. Di institusi ini al-Makmun memperkerjakan Muhammad ibn Musa
al-Hawarizmi yang ahli di bidang al-jabar dan astronomi dan juga Beliau adalah
salah satu guru besar di Baitul Hikmah. Orang-orang Persia lain juga
diperkerjakan di Baitul Hikmah. Pada masa itu direktur Baitul Hikmah
adalah Sahl Ibn Harun. Di bawah
kekuasaan al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai
perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan
matematika. Pada 832 M, al-Makmun
menjadikan Baitul Hikmah di baghdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan
teropong bintang, perpustakan, dan lembaga penerjemahan.
Kepala akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857), murid
Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai
ketua ke dua.[4]
C. Faktor-faktor Yang Menyebabkab Berdirinya Lembaga
Baitul Hikmah
Yang
memotivasi berdirinya lembaga Baitul Hikmah yaitu didorong oleh keinginan
meniru lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen Nestorians;
yakni gondhesaphur yang salah satu tokohnya georgius Gabriel pernah
ditunjuk menjadi kepala sebuah rumah sakit pada jaman khalifah al-Mansur. Tokoh
ini juga aktif menerjemahkan karya-karya yunani.[5]
Dan
juga yang menjadi motivasi lainnya dalam
pembentukan lembaga Baitul Hikmah adalah disebabkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
·
Melimpahnya
kekayaan negara dan tingginya apresiasi khalifah al-Makmun terhadap ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, seperti ilmu filsafat, kedokteran, astronomi, dan
lain-lain, dan juga kecintaannya terhadap seni musik. Bersatunya dana
dengan keinginan ini melahirkan sebuah pemikiran yang positif yaitu
mengembangkan pendidikan lebih maju lagi yang ternyata pemikiran ini mendapat
sambutan yang positif dari para pembantunya dan dari masyarakat.
·
Adanya
apresiasi yang tinggi dari kebanyakan anggota masyarakat (dari berbagai lapisan
sosial) terhadap kegiatan keilmuan,yang menyebabkan mereka bisa bekerja
bahu-membahu satu sama lain tanpa mengalami beban psikologis yang disebabkan
oleh perbedaan etnis, agama, status sosial dan lain sebagainya. Disini
profesionalitas dijunjung tinggi dengan sikap terbuka, sehingga tidak
mengherankan jika waktu itu orang-orang etnis non arab dan non muslim banyak
sekali peranannya dan saling bekerjasama. Mereka bisa menjalankan tugas dengan
tenang meskipun yang memerintahkan adalah khalifah orang muslim.[6]
D. Aktivas dan Peran-peran Perpustakaan Baitul
Hikmah
Motif
utama berdirinya lembaga Baitul Hikmah dimaksudkan untuk menggalakkan dan
mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik dari
warisan intelektual Yunani, Persia, Mesir dan lain-lain ke dalam bahasa Arab,
khusunya umat islam. Salah seorang yang paling berperan, Hunayn bin ishaq,
mengadakan perjalanan ke Alexandria dan singgah pula di Syiria dan Palestina
untuk mencari karya-karya kuno tersebut. Faktor-faktor yang mendorong umat
Islam melakukan kegiatan penerjemah dan transfer ilmu-ilmu kuno adalah :
1. Suasana Persaingan (prestise) antara
orang-orang Arab dengan lainnya.
2. Keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu yang
belum dimiliki.
3. Dorongan ayat-ayat Al-Qur’an (ajran Islam) tentang
menuntut ilmu pengetahuan.
4. Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan konsekuensi dari
peningkatan kemakmuran dan
kemajuan ekonomi.
Dengan
berdirinya Baitul Hikmah, kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan menjadi lebih
maju. Khalifah berhasil merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya.
Kemudian mereka dikirim ke kawasan-kawasan kuno kerajaan Bizantium dengan tugas
mencari karya-karya ilmuwan/filosof klasiknya. Melalui kegiatan-kegiatan inilah
pada akhirnya umat islam bisa mengembangkan karya-karya kuno seperti Hypokrates,
Euclides , galen dan lain-lain.[7]
Pesatnya perkembangan lembaga Baitul Hikmah
mendorong lembaga ini untuk memperluas peranannya, bukan saja sebagai lembaga
penerjemah, tetapi juga meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Sebagai pusat dokumentasi dan pelayanan informasi keilmuwan bagi masyarakat, yang
antara lain ditunjukkan dengan berdirinya perpustakaan
di kota Baghdad.
2. Sebagai pusat dan forum kegiatan pengembangan keilmuan, sehingga semua perangkat
risetnya juga dilengkapi dengan observatorium
astronomi.
3. Sebagai pusat kegiatan perencanaan dan
pengembangan pelaksanaan pendidikan.
E.
Gerakan Penerjemahan
Usaha penerjemahan karya-karya ilmiah dijalankan
oleh akademi ini terjadi sewaktu dikepalai oleh Hunain ibn Ishaq seorang
Kristen yang pandai berbahasa Arab dan Yunani. Dia memperkenalkan metode
penerjemahan baru yaitu menterjemahkan kalimat, bukan menerjemahkan kata per
kata, hal ini agar dapat memperoleh keakuratan naskah, Hunain juga menggunakan
metode penerjemahkan dengan membandingkan beberapa naskah untuk
diperbandingkan. Hunain berhasil menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab
seperti buku kedokterann yang dikarang oleh Paulus al-Agani. Dengan bantuan
para penerjemah dari Baitul Hikmah, Ia juga menerjemahkan kitab Republik
dari Plato, dan kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles.
Penerjemahan buku-buku ilmu kedokteran ,filsafat, dan lain-lain dilakukan
secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Selain kota baghadad,
seperti Merv (Persia Timur) , dan Jund-e-Shapur (Persia Barat), Biasanya
naskah berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahsa Syiria kuno dulu sebelum ke
dalam Bahsa Arab. Hal ini dikarenakan para penerjemah biasannya adalah
para pendeta Kristen Syiria yang hanya memahami Bahasa Yunani.[8]
Penerjemahan berjalan terus bahkan tidak hanya
menjadi urusan istana, tetapi telah menjadi usaha pribadi oleh orang yang gemar
dan mencintai ilmu. Sebagian orang yang cinta akan ilmu pengetahuan telah
menafkahkan sebagian besar hartanya untuk penerjemahan buku-buku baik itu dalam
bahasa Yunani ataupun bahasa lainnya kedalam bahasa Arab. Kegiatan kaum
muslimin bukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan penjelasan-penjelasan
pada naskah-naskah atau buku-buku yang mereka terjemahkan.
F. Hal-hal yang menyebabkan kemajuan intelektual
Kemajuan intelektual pada masa tersebut, ditentukan oleh dua hal, yaitu
sebagai berikut :
ü Terjadinya
asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan
Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia
sangat kuat di bidang pemerintah. Di samping itu Bangsa Persia banyak berjasa
dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam
bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama
filsafat.
ü Gerakan
penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Khalifah
al-Manshur hingga Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak diterjemhkan
adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung
mulai masa khalifah al-makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase ketiga
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pada masa itu sejarah peradaban Islam tepatnya pada Bani Abbasiyah terutama pada masa khalifah al-Makmun telah
berkembang sangat pesat dibidang ilmu pengetahuan. Umat Islam sesungguhnya
telah dipacu untuk dapat mengembangkan dan memmberikan Inovasi serta
kreativitas dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan
hidup. Aktivitas ilmiah yang berlangsung pada masa Dinasti Abbasiyah
mengantarkan dinasti ini mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Seperti
ilmu kimia, kedokteran, filsafat, matematika, astronomi, astrologi, geografi,
sejarah,ilmu-ilmu agam islam, dan sebagainya. Di samping itu, para sastrawan,
penyair, musisi, dan lain-lain menghiasi era Abbasiyah. Dalam perjalan sejarah
Bani Abbasiyah telah mengubah dan menoreh wajah dunia islam dalam pengembangan
wawasan dan disiplin keilmuwan.[9]
G.
Kejatuhan Kota Baghdad dan
Kehancuran Pepustakaan Baitul Hikmah
Faktor-faktor
yang membuat Baghdad menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikemukakan
menjadi dua faktor yaitu :
1.
Faktor-faktor internal (dalam
pemerintahan itu sendiri), yaitu :
a. Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa
bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah terutama Arab, Persia dan Turki.
b.
Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya
konflik berdarah.
c.
Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.
d. Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran
politik.
2.
Adapun faktor-faktor Eksternal (ancaman/serangan
dari luar), yaitu :
a.
perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang.
b.
Hadirnya tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan,
Kehadiran
dan serangan tentara Mongol inilah yang secara langsung menyebabkan kejatuhan
Daulah Abbasiyah dan kehancuran Baitul Hikmah di kota Baghdad, yaitu pada
kekhalifahan al-Mu’tashim yang menjadi penguasa terakhir bani Abbasiyah. Serangan
tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan adalah peristiwa yang banyak
menelan waktu dan pengorbanan, pusat-pusat ilmu pengetahuan, baik yang berupa
perpustakaan maupun lembaga-lembaga pendidikan mereka diporak-porandakan dan
dibakar. Dalam serangan tentara Mongol yang terjadi 40 hari dimulai dari bulan
Muharram sampai pertengahan Safar telah memakan korban sebanyak 2 juta jiwa,
khalifah al-Mu’tashim bersama anak-anaknya juga dibunuh oleh tentara Mongol.
Semua kitab-kitab yang ada baik dalam perpustakaan Baitul Hikmah maupun di
tempat lainnya, guru-guru, imam-imam, pembaca-pembaca semuanya disapu habis,
sehingga berbulan-bulan lamanya kota Baghdad menjadi daerah yang kosong.
Khalifah al-Mu’tashim adalah khalifah Abbasiyah yang terakhir dan telah
terbunuh oleh kaum Mongol yang menyerang dunia Islam serta mengakhiri
pemerintahan Abbasiyah.[10]
Dari berbagai permasalahan internal diiringi
dengan serangan eksternal yang dihadapi Daulah Abbasiyah hingga kehancuran
perpustakaan Baitul Hikmah, ini mengakibatkan dampak yang sangat negatif pada kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan
di dunia Islam.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
rentangan sejarah panjang peradaban Islam, daulah Abbasiyah sebagai pemegang
kekhalifahan menggantikan Daulah Umayyah (132 H/750 M), ternyata membawa corak
baru dalam budaya Islam, terutama dalam bidang pendidikan. Dengan
dipindahkannya ibu kota dari Damaskus ke Baghdad merupakan awal dari perubahan
yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah. Baghdad sebagai pusat ibu kota
pemerintahan saat itu yang didalamnya berdiri istana dan bangunan yang megah
dan seni bangunan Arab Persia masa itu. Pada saat itu Islam berada pada zama
keemasan hal ini terbukti dengan banyaknya bangunan-banguna, pengembangan ilmu
pengetahuan dan Pembangunan perpustakaan seperti Baitul Hikmah. Namun, Pasang
surut sebuah dinasti merupakan bagian siklus dari sejarah yang bersifat fakta.
Sebagai sebuah pemerintahan atau kekuasaan Islam yang pernah jaya, juga tidak
terlepas dari kemunduran atau keruntuhan.
Dalam
sejarah Islam, jatuhnya Daulah Abbasiyah pada tahun 1258 M, pada masa itu juga
di anggap berakhirnya zaman keemasan Islam. Serangan tentara Hulagu Khan,
penguasa kerajaan Mongol menjadi peristiwa bersejarah yang di anggap sebagai
berakhirnya masa jaya kaum muslimin. Pada masa kehancuran Daulah Abbasiyah
tidaklah semata-mata hanya disebabkan oleh serangan bangsa Mongol saja, akan
tetapi juga terdapat beberapa faktor yang menjadi akar kemunduran dinasti
Abbasiyah ini yaitu, faktor internal dan faktor eksternal.[11]
Dengan kehancuran dan berakhirnya masa dinasti
Abbasiyah maka pengembangan ilmu pengetahuan dunia Islam saat itu terhenti dan perpustakaan Baitul
Hikmah masa itu ikut hancur bersamaan
dengan dinasti Abbasiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Albert
Hourani, Sejarah Bangsa-bangsa Muslim,
Bandung: Mizan Pustaka, 2004.
Badri
Yatim, Sejarah Paeradaban Islam,
Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
H.Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008.
H.
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:
Menelusur Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2007.
http/www.
Fatkhatul Aliyah: Baitul Hikmah.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana, 2005.
[1]
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kencana, 2005).
[2]
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kencana, 2005).
[3]
H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008)
[4]
H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008).
[5]
Albert Hourani, Sejarah Bangsa-bangsa
Muslim, (Bandung: Mizan Pustaka, 2004)
[6]
Badri Yatim, Sejarah Paeradaban Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
[7]
http/www. Fatkhatul Aliyah: Baitul
Hikmah.
[8]
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kencana, 2005).
[9]
Badri Yatim, Sejarah Paeradaban Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
[10]
H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan
Islam: Menelusur Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007).
[11]
H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan
Islam: Menelusur Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007).