Pages

Wednesday, April 23, 2014

Makalah Sejarah Perpustakaan Islam (Baitul Hikmah) di Baghdad



Oleh         :  Ahmad Ricky Baidhawi
Jur/Fak    :  S1-Ilmu Perpustakaan / Adab
Universitas UIN Ar-Raniry

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Abad keemasan peradaban muslim dimulai dengan bangkitnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M. Masa lima abad kekhalifahan Abbasiyah merupakan masa perkembangannya Islam. Pada Dinasti ini kurang berminat penaklukan sebagaimana pada Dinasti Ummayah, tetapi pada Dinasti Abbasiyah ini lebih berminat besar pada pengetahuan dan masalah dalam negeri.  Hal tersebut terlihat pada upaya besar penerjemahan dan menyerap ilmu pengetahuan dari peradaban lain. Dalam waktu tiga fase   pada masa dinasti Abbasiyah buku-buku dalam bahasa Yunani, Syiria, Sanskerta, Cina dan Persia diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Fase pertama (132 H/750 M – 132 H/847 M), pada khalifah al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi. Fase kedua (232 H/847 M – 334 H/ 945 M), pada masa khalifah al-Makmun buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga (334 H/ 945 M – 347 H/ 1005 M), terutama setelah bidang-bidang ilmu yang telah diterjemahkan semakin meluas, dimulailah untuk menyaring, menganalisis dan menerima ataupun menolak pengetahuan dari peradaban lain. Seiring dengan perkembangan berbagai ilmu pengetahuan dan munculnya karya-karya para ilmuan dan berkembangnya produksi kertas yang sersebar luas, hal ini memberikan dorongan besar pada gerakan pengumpulan naskah-naskah. Keadaan ini berlangsung ketika peradaban muslim dilanda perdebatan, dan buku-uku yang bersangkutan menjadi kunci utama untuk menyampaikan gagasan. Kebutuhan akan buku menyebabkan merebaknya perpustakaan diberbagai penjuru dunia Islam.[1]
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Ilmu Pengetahuan di Dunia Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
              Dinasti abbasiyah terutama pada fase pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur, Khalifah Harun al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun, merupakan khalifah-khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaannya khalifah-khalifah sangat menjaga dan memelihara buku-buku baik yang bernuansa agama maupun umum, baik karya ilmuan muslim maupun non muslim, baik karya-karya ilmuan yang semasanya maupun pendahulunya. Hal ini terlihat jelas dari sikap-sikap khalifah seperti pesannya Harun al-Rasyid kepada para tentaranya untuk tidah merusak kitab apapun yang ditemukan dalam medan perang. Begitu juga khalifah al-Makmun yang menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan lainnya untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, sampai pada akhirnya masih dilalukan pada masa khalifah al-Makmun Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[2]
B.   Sejarah Berdirinya Perpustakaan Islam Pertama di Baghdad (Baitul Hikmah)
Baitul Hikmah di Baghdad didirikan tahun 832 M pada masa Harun al-Rasyid menjadi khalifah, kemudian diteruskan dan diperbesar oleh khalifah al-Makmun. Pada perpustakaan ini bukan hanya berisi ilmu-ilmu dan buku-buku agama Islam dan Bahasa Arab saja, bahkan juga bermacam-macam ilmu-ilmu dan buku-buku umum lainnya dan juga dalam bahasa lainnya yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Baitul Hikmah merupakan perpustakaan yang  berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa Abbasiyah institusi ini diperluas penggunaannya. Baitul Hikmah, sudah dirintis oleh khalifah Harun al-Rasyid, menjadi pusat segala kegiatan keilmuan. Pada masa Harun al-Rasyid institusi ini bernama khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Di lembaga ini baik muslim maupun non muslim bekerja mengalih bahasakan sebagai naskah kuno dan menyusun berbagai penjelasan.[3] Tujuan utama didirikannya Baitul Hikmah adalah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing ke dalam bahasa Arab. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam, yaitu menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada waktu itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Lembaga pendidikan ini didirikan berkat adanya usaha dan bantuan dari orang-orang yang memegang kepemimpinan dalam pemerintahan.
Sejak 815 M al-Makmun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Baitul Hikmah. Pada masa Makmun  inilah ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai puncaknya. Pada masa ini Baitul Hikmah digunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, bahkan Etiopia dan India. Di institusi ini al-Makmun memperkerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang al-jabar dan astronomi dan juga Beliau adalah salah satu guru besar di Baitul Hikmah. Orang-orang Persia lain juga diperkerjakan di Baitul Hikmah. Pada masa itu direktur Baitul Hikmah adalah  Sahl Ibn Harun. Di bawah kekuasaan  al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika. Pada 832 M, al-Makmun menjadikan Baitul Hikmah di baghdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakan, dan lembaga penerjemahan. Kepala akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857), murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua ke dua.[4]
C.   Faktor-faktor Yang Menyebabkab Berdirinya Lembaga Baitul Hikmah
Yang memotivasi berdirinya lembaga Baitul Hikmah yaitu didorong oleh keinginan meniru lembaga hebat yang didirikan oleh orang-orang kristen Nestorians;  yakni gondhesaphur yang salah satu tokohnya georgius Gabriel pernah ditunjuk menjadi kepala sebuah rumah sakit pada jaman khalifah al-Mansur. Tokoh ini juga aktif menerjemahkan karya-karya yunani.[5]
Dan juga  yang menjadi motivasi lainnya dalam pembentukan lembaga Baitul Hikmah adalah disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
·         Melimpahnya kekayaan negara dan tingginya apresiasi khalifah al-Makmun terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan, seperti ilmu filsafat, kedokteran, astronomi, dan lain-lain, dan juga kecintaannya terhadap seni musik.  Bersatunya dana dengan keinginan ini melahirkan sebuah pemikiran yang positif yaitu mengembangkan pendidikan lebih maju lagi yang ternyata pemikiran ini mendapat sambutan yang positif dari para pembantunya dan dari masyarakat.
·         Adanya apresiasi yang tinggi dari kebanyakan anggota masyarakat (dari berbagai lapisan sosial) terhadap kegiatan keilmuan,yang menyebabkan mereka bisa bekerja bahu-membahu satu sama lain tanpa mengalami beban psikologis yang disebabkan oleh perbedaan etnis, agama, status sosial dan lain sebagainya. Disini profesionalitas dijunjung tinggi dengan sikap terbuka, sehingga tidak mengherankan jika waktu itu orang-orang etnis non arab dan non muslim banyak sekali peranannya dan saling bekerjasama. Mereka bisa menjalankan tugas dengan tenang meskipun yang memerintahkan adalah khalifah orang muslim.[6]
D.   Aktivas dan Peran-peran Perpustakaan Baitul Hikmah
Motif utama berdirinya lembaga Baitul Hikmah dimaksudkan untuk menggalakkan dan mengkoordinir kegiatan pencarian dan penerjemahan karya-karya klasik dari warisan intelektual Yunani, Persia, Mesir dan lain-lain ke dalam bahasa Arab, khusunya umat islam. Salah seorang yang paling berperan, Hunayn bin ishaq, mengadakan perjalanan ke Alexandria dan singgah pula di Syiria dan Palestina untuk mencari karya-karya kuno tersebut. Faktor-faktor yang mendorong umat Islam melakukan kegiatan penerjemah dan transfer ilmu-ilmu kuno adalah :
1.  Suasana Persaingan (prestise) antara orang-orang Arab dengan lainnya.
2.  Keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu yang belum dimiliki.
3.  Dorongan ayat-ayat Al-Qur’an (ajran Islam) tentang menuntut ilmu pengetahuan.
4.  Kemajuan  ilmu pengetahuan merupakan konsekuensi dari peningkatan kemakmuran dan
 kemajuan ekonomi.
Dengan berdirinya Baitul Hikmah, kegiatan pentransferan ilmu pengetahuan menjadi lebih maju. Khalifah berhasil merekrut para sastrawan, sejarawan dan ilmuwan-ilmuwan terbaiknya. Kemudian mereka dikirim ke kawasan-kawasan kuno kerajaan Bizantium dengan tugas mencari karya-karya ilmuwan/filosof klasiknya. Melalui kegiatan-kegiatan inilah pada akhirnya umat islam bisa  mengembangkan karya-karya kuno seperti Hypokrates, Euclides , galen dan lain-lain.[7]
      Pesatnya perkembangan lembaga Baitul Hikmah mendorong lembaga ini untuk memperluas peranannya, bukan saja sebagai lembaga penerjemah, tetapi juga meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.  Sebagai  pusat  dokumentasi dan pelayanan  informasi keilmuwan bagi masyarakat, yang
 antara lain ditunjukkan dengan berdirinya perpustakaan di kota Baghdad.
2.  Sebagai pusat dan forum  kegiatan  pengembangan  keilmuan, sehingga semua perangkat
 risetnya juga dilengkapi dengan observatorium astronomi.
3.  Sebagai pusat kegiatan perencanaan dan pengembangan pelaksanaan pendidikan.
E.   Gerakan Penerjemahan
Usaha penerjemahan karya-karya ilmiah dijalankan oleh akademi ini terjadi sewaktu dikepalai oleh Hunain ibn Ishaq seorang Kristen yang pandai berbahasa Arab dan Yunani. Dia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu menterjemahkan kalimat, bukan menerjemahkan kata per kata, hal ini agar dapat memperoleh keakuratan naskah, Hunain juga menggunakan metode penerjemahkan dengan membandingkan beberapa naskah untuk diperbandingkan. Hunain berhasil menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab seperti buku kedokterann yang dikarang oleh Paulus al-Agani. Dengan bantuan para penerjemah dari Baitul Hikmah, Ia  juga menerjemahkan kitab Republik dari Plato, dan kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles. Penerjemahan buku-buku ilmu kedokteran ,filsafat, dan lain-lain dilakukan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Selain kota baghadad, seperti  Merv (Persia Timur) , dan Jund-e-Shapur (Persia Barat), Biasanya naskah berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahsa Syiria kuno dulu sebelum ke dalam Bahsa Arab. Hal ini dikarenakan para penerjemah biasannya adalah para pendeta Kristen Syiria yang hanya memahami Bahasa Yunani.[8]
Penerjemahan berjalan terus bahkan tidak hanya menjadi urusan istana, tetapi telah menjadi usaha pribadi oleh orang yang gemar dan mencintai ilmu. Sebagian orang yang cinta akan ilmu pengetahuan telah menafkahkan sebagian besar hartanya untuk penerjemahan buku-buku baik itu dalam bahasa Yunani ataupun bahasa lainnya kedalam bahasa Arab. Kegiatan kaum  muslimin bukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan penjelasan-penjelasan pada naskah-naskah atau buku-buku yang mereka terjemahkan.
F.   Hal-hal yang menyebabkan kemajuan intelektual
Kemajuan intelektual pada masa tersebut, ditentukan oleh dua hal, yaitu sebagai berikut :
ü  Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat di bidang pemerintah. Di samping itu Bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika,  dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama filsafat.
ü  Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa Khalifah al-Manshur hingga Harun ar-Rasyid. Pada masa ini yang banyak diterjemhkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. Pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pada masa itu sejarah peradaban Islam tepatnya pada Bani Abbasiyah  terutama pada masa khalifah al-Makmun telah berkembang sangat pesat dibidang ilmu pengetahuan. Umat Islam sesungguhnya telah dipacu untuk dapat mengembangkan dan memmberikan Inovasi serta kreativitas dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan kesempurnaan  hidup. Aktivitas ilmiah yang berlangsung pada masa Dinasti Abbasiyah mengantarkan dinasti ini mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Seperti ilmu kimia, kedokteran, filsafat, matematika, astronomi, astrologi, geografi, sejarah,ilmu-ilmu agam islam, dan sebagainya. Di samping itu, para sastrawan, penyair, musisi, dan lain-lain menghiasi era Abbasiyah. Dalam perjalan sejarah Bani Abbasiyah telah mengubah dan menoreh wajah dunia islam dalam pengembangan wawasan dan disiplin keilmuwan.[9]
G.   Kejatuhan Kota Baghdad dan Kehancuran Pepustakaan Baitul Hikmah
Faktor-faktor yang membuat Baghdad menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikemukakan menjadi dua faktor yaitu :
1.   Faktor-faktor internal (dalam pemerintahan itu sendiri), yaitu :
a.  Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah terutama Arab, Persia dan Turki.
b. Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah.
c. Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di     Baghdad.
d.  Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.
2.   Adapun faktor-faktor Eksternal (ancaman/serangan dari luar), yaitu :
a.  perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang.
b. Hadirnya tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan,
Kehadiran dan serangan tentara Mongol inilah yang secara langsung menyebabkan kejatuhan Daulah Abbasiyah dan kehancuran Baitul Hikmah di kota Baghdad, yaitu pada kekhalifahan al-Mu’tashim yang menjadi penguasa terakhir bani Abbasiyah. Serangan tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan adalah peristiwa yang banyak menelan waktu dan pengorbanan, pusat-pusat ilmu pengetahuan, baik yang berupa perpustakaan maupun lembaga-lembaga pendidikan mereka diporak-porandakan dan dibakar. Dalam serangan tentara Mongol yang terjadi 40 hari dimulai dari bulan Muharram sampai pertengahan Safar telah memakan korban sebanyak 2 juta jiwa, khalifah al-Mu’tashim bersama anak-anaknya juga dibunuh oleh tentara Mongol. Semua kitab-kitab yang ada baik dalam perpustakaan Baitul Hikmah maupun di tempat lainnya, guru-guru, imam-imam, pembaca-pembaca semuanya disapu habis, sehingga berbulan-bulan lamanya kota Baghdad menjadi daerah yang kosong. Khalifah al-Mu’tashim adalah khalifah Abbasiyah yang terakhir dan telah terbunuh oleh kaum Mongol yang menyerang dunia Islam serta mengakhiri pemerintahan Abbasiyah.[10]
   Dari berbagai permasalahan internal diiringi dengan serangan eksternal yang dihadapi Daulah Abbasiyah hingga kehancuran perpustakaan Baitul Hikmah, ini mengakibatkan dampak yang sangat negatif  pada kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.










BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
   Dalam rentangan sejarah panjang peradaban Islam, daulah Abbasiyah sebagai pemegang kekhalifahan menggantikan Daulah Umayyah (132 H/750 M), ternyata membawa corak baru dalam budaya Islam, terutama dalam bidang pendidikan. Dengan dipindahkannya ibu kota dari Damaskus ke Baghdad merupakan awal dari perubahan yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah. Baghdad sebagai pusat ibu kota pemerintahan saat itu yang didalamnya berdiri istana dan bangunan yang megah dan seni bangunan Arab Persia masa itu. Pada saat itu Islam berada pada zama keemasan hal ini terbukti dengan banyaknya bangunan-banguna, pengembangan ilmu pengetahuan dan Pembangunan perpustakaan seperti Baitul Hikmah. Namun, Pasang surut sebuah dinasti merupakan bagian siklus dari sejarah yang bersifat fakta. Sebagai sebuah pemerintahan atau kekuasaan Islam yang pernah jaya, juga tidak terlepas dari kemunduran atau keruntuhan.
   Dalam sejarah Islam, jatuhnya Daulah Abbasiyah pada tahun 1258 M, pada masa itu juga di anggap berakhirnya zaman keemasan Islam. Serangan tentara Hulagu Khan, penguasa kerajaan Mongol menjadi peristiwa bersejarah yang di anggap sebagai berakhirnya masa jaya kaum muslimin. Pada masa kehancuran Daulah Abbasiyah tidaklah semata-mata hanya disebabkan oleh serangan bangsa Mongol saja, akan tetapi juga terdapat beberapa faktor yang menjadi akar kemunduran dinasti Abbasiyah ini yaitu, faktor internal dan faktor eksternal.[11]
Dengan kehancuran dan berakhirnya masa dinasti Abbasiyah maka pengembangan ilmu pengetahuan dunia Islam  saat itu terhenti dan perpustakaan Baitul Hikmah masa  itu ikut hancur bersamaan dengan dinasti Abbasiyah.     



DAFTAR PUSTAKA

Albert Hourani, Sejarah Bangsa-bangsa Muslim, Bandung: Mizan Pustaka, 2004.
Badri Yatim, Sejarah Paeradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008.
H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusur Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
http/www. Fatkhatul Aliyah: Baitul Hikmah.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005.


[1] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005).
[2] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005).
[3] H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008)
[4] H.Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008).
[5] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-bangsa Muslim, (Bandung: Mizan Pustaka, 2004)
[6] Badri Yatim, Sejarah Paeradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
[7] http/www. Fatkhatul Aliyah: Baitul Hikmah.
[8] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005).
[9] Badri Yatim, Sejarah Paeradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
[10] H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusur Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007).
[11] H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusur Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007).

No comments:

Post a Comment